BLURB

Apa yang akan kau lakukan jika satu menit yang lalu kau anak tunggal orang tuamu, lalu satu menit kemudian ada seseorang yang muncul entah dari mana dan duduk di sampingmu mengaku sebagai adikmu? Apa yang kau lakukan jika kau menemukan foto di meja, menampilkan dirimu dan seseorang yang belum pernah kau lihat? Apa yang kau lakukan jika kau pulang ke rumah dan menemukan bahwa di dalam rumah itu sudah ada dirimu yang lain?

Kehidupan Ally memang bukan kehidupan biasa. Kerap kali ia mendapati dirinya ditempatkan dalam kehidupan yang seolah miliknya, tapi ternyata bukan. Dan tiba-tiba kata “pulang” punya makna yang baru. Apakah Ally akan memiliki kesempatan untuk “pulang”? Akankah ia bisa kembali pada cinta yang ditinggalkannya di kehidupan yang lain?

Ini bukan kisah biasa. Ini kisah yang akan membuatmu berpikir kembali tentang arti hidup dan arti cinta yang sebenarnya.

*

Ally Lancaster adalah seorang anak tunggal. Pada suatu hari, Jumat siang di musim semi, Ally bercerita tentang sekolahnya pada sang ibu yang sedang mengeluarkan seloyang kue kering dari dalam oven ketika ia merasakan sensasi menggelitik seperti digigit semut di lengan dan wajahnya.

Dan secara tiba-tiba saja… semuanya hilang. Kursi yang kududuki menghilang. Meja dapur tempat aku meletakkan kotak makan dan botol minumku juga menguap begitu saja. Segelas air dingin yang kupegang juga hilang. Mama dan seloyang kue kering dan baunya hilang. Tembok dapur hilang beserta semua rak dan juga kompornya. Seluruh rumah hilang. Bahkan tidak ada apa-apa yang kurasakan di bawah kakiku seolah seluruh bumi memang hilang begitu saja.

Sekitar setahun yang lalu saya menemukan bocoran dua bab pertama dari novel Ally All These Lives ini. Saat itu saya sangat penasaran karena penulis mengangkat Teori Dunia Banyak (Many World Interpretation Theory) sebagai tema.

Pada tahun 1957, seorang ahli fisika bernama Hugh Everett III mengajukan teori tentang “Dunia yang Banyak”. Teori itu mengatakan bahwa alam semesta ini terbelah atau terbagi atau bercabang setiap kali sebuah keputusan dibuat.

Saya berekspektasi sangat tinggi terhadap novel ini, saya pikir mungkin kisahnya agak mirip dengan trilogi Tere Liye, Bumi, Bulan dan Matahari yang mengangkat tema yang sama –dunia paralel. Nyatanya, sangat berbeda. Dan seharusnya saya tidak boleh membandingkannya.

Membaca novel ini, saya seperti membaca diari milik Ally. Saya dapat merasakan betapa bingung, kesal, marah serta sedihnya hari-hari yang ia lalui. Apalagi novel ini cukup panjang (memuat 50 bab dan 1 epilog).

Arleen A, sang penulis, terkenal sebagai penulis cerita anak. Ia menulis lebih dari 200 buku anak dan Ally, All These Lives merupakan novel kesepuluhnya. Dan memang buku ini memiliki pesan moral yang kuat dengan penuturan yang dapat dikatakan cukup sederhana dan mudah dipahami.

Seperti yang sudah saya utarakan di atas, saya terlalu berharap banyak. Dua bab pertama memang membuat penasaran dan sangat menarik, namun bab-bab setelahnya biasa-biasa saja bahkan membosankan. Tokoh Ally memang berpindah ke semesta lain, namun sikapnya seragam.

Walaupun Ally berpindah-pindah namun kehidupannya selalu baik-baik saja. Dia hanya fokus pada perasaan takut dan tidak terima akan kenyataan hidupnya.

Saya justru mengira –bahkan berharap, di salah satu dunia Ally, ia akan menghadapi realita yang lebih pahit namun sanggup melewatinya dengan baik, misal, keluarganya yang baru jatuh miskin. Selain itu, yang paling membuat Ally down adalah ketidakhadiran Kevin –kekasihnya— atau Albert –sang adik.

 Alam semesta ini tidak mempunyai Kevin di dalamnya. Sekarang, bagaimana caraku untuk bisa hidup di sebuah alam semesta yang tidak punya Kevin dan Albert di dalamnya?

Saya juga merasa tidak setuju dengan beberapa sikap Ally, seperti saat Kevin melamarnya. Kevin perlu 3 kali melamarnya sebelum ia akhirnya memutuskan ya –namun ia tidak sempat menerimanya karena keburu tersedot ke dunia lain.

Ketika seorang wanita yakin bahwa dirinya mencintai seorang pria dengan segenap hatinya, dan jika  ia tidak ingin kehilangan diri si pria, dan jika ia memang ingin menghabiskan seluruh sisa hidupnya bersama si pria, maka wanita itu pasti akan menerima lamaran si pria dan tentu akan menikah dengannya. Jika saja bisa sesederhana itu bagiku. Ya, tentu saja aku mau menikah dengan Kevin. Aku mencintainya sampai mati. Namun masalahnya, menikah dengannya bukan jaminan untuk tidak kehilangan dirinya.

Lantas, bagaimana kisah Ally selanjutnya? Silakan baca sendiri novel ini ya.

Saya sangat menyukai quotes ini:

Manusia memang lucu dalam hal itu. Mereka merasa baik-baik saja sebelum memiliki sesuatu hal. Lalu mereka mendapatkan sesuatu hal itu dan merasa lebih baik. Lalu sesuatu hal itu diambil dari mereka, dan mereka tidak dapat kembali merasa seperti sebelum mereka punya sesuatu hal itu.

Kelebihannya, Arleen menulis dengan sangat rapi dan detail. Saya bisa merasakan bagaimana suasana saat Ally akan menghilang, sensasi menggelitik, semua menghilang lantas warna-warni yang kabur hingga pandangan yang kembali fokus. Tak hanya itu, membaca tulisan ini seolah saya membaca terjemahan luar negeri yang dialihbahasakan dengan sangat baik –anda bisa lihat sendiri beberapa potongan narasi yang saya cantumkan di atas. Selain itu, tema time traveler masih sangat jarang diangkat penulis Indonesia. Saya sangat mengapresiasi kehebatan Arleen dalam setiap diksi yang dipilihnya, hanya saja saya merasa konfliknya terlalu datar.

P.s: Saya baca novel ini di aplikasi iJak.


DATA BUKU

Judul: Ally –All These Lives

Penulis: Arleen A

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Editor: Dini Novita Sari

Desain sampul: Iwan Mangopang

Tahun terbit: 2014

Cetakan: Pertama

Format: eBook

ISBN: 978-602-03-0884-5

Halaman & tebal: 264 halaman, 20 cm